Si Jalmi

Diberdayakan oleh Blogger.
  • Beranda
  • Tentang

Ada pertanyaan imajinasi yang muncul di benak saya dalam lamunan. Saya bersikap sopan di depan orang tua atau orang yang saya hormati, saya bersikap sesukanya bahkan omongan saya cukup kasar ketika sedang bersama teman sebaya, bahkan ketika sendiri pun, saya memiliki sifat unik sendiri. Saya jadi berpikir, 'saya' yang sebenarnya itu yang mana sih? apa yang sopan, apa yang suka suka, atau sifat ketika sendirian. 


Tulisan saya mungkin ngga jelas dan susah dipahami. Saya susah sekali meramukan apa yang ada dikepala saya kepada tulisan. Tapi mau gimana lagi, anggap saja tulisan ini sebagai muntahan saya yang mau tidak mau harus keluar. Maaf kalau yang baca terciprat muntahan saya ini.

Balik ke topik, kalau mau dianalogikan, saya itu berwarna hijau ketika berhadapan dengan orang tua saya, saya berwarna kuning ketika berinteraksi dengan orang asing, dan saya berubah menjadi warna merah ketika bersama teman sebaya. Saya tidak bisa seperti misal Sujiwo Tejo yang berwarna biru dimanapun dan dengan siapapun dia berhadapan. Yang jadi pertanyaan saya adalah, warna saya yang sesungguhnya itu apa? kenapa saya tidak tahu warna saya sendiri.

Kalau mau dirangkum, mungkin saya ini seorang pengecut yang tidak bisa jujur dengan diri saya sendiri. Saya tidak tau kenapa saya bisa menjilat ke seseorang dan di waktu yang sama mengutuk orang lain yang sukanya menjilat atasannya sendiri. Ada perasaan dalam diri saya sendiri yang sulit sekali dijabarkan, seperti api hitam yang ketika digenggam terasa lembek seperti agar agar yang sudah basi. Ingin sekali menghilangkan rasa itu tapi sudah terlanjur menempel dan membuat tidak nyaman pada kulit.

Setelah saya dijahati sejahat-jahatnya oleh seseorang sekitar dua tahun lalu. Apa yang menjadi 'saya' seperti berubah. Kembali melihat dunia setelah memiliki rasa sedih dan marah dan kecewa sebesar-besarnya, saya memiliki perspektif baru. Pencarian untuk mencari 'saya' tidak lagi diteruskan, saya menjadi bunglon yang memakai topeng tersenyum. Menjadi aktor yang menyembunyikan perasaan sebenarnya untuk berakting sesuai keadaan. Walaupun demikian, saya masih tidak tahu apakah itu sudah cukup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang yang hadir dalam hidup saya.



Share on:

Dulu sekali waktu masih sekolah SD, saya pernah punya kucing. Tidak pernah diberi nama hanya saja dia memiliki pergelangan kaki yang buntung, entah kenapa saya tidak pernah tahu. Mungkin kecelakaan, mungkin juga dijahati oleh manusia. Tapi kucing yang awalnya kurus sekali itu, setelah tinggal dan diurus di rumah, makin menggemuk dan sehat. 

Salah satu memori yang saya ingat adalah ketika pada akhirnya kami pindah rumah, saya bawa kucing buntung ini ke rumah baru pada sore hari sekitar waktu magrib. Dan pada waktu itu, tabu sekali rasanya menginapkan kucing di dalam rumah, jadinya kucing ini tidur diluar semalaman. Paginya saya tentu harus sekolah, Bapak kerja, Ibu jualan dan Aa juga sekolah, rumah kosong, kucing yang baru tiba di tempat asing sudah ditinggalkan sendirian diluar rumah. Saya khawatir sekali, apa mungkin kucing tidak bernama dan berkaki buntung ini akan kabur karena lingkungan yang sangat asing. Sepulang sekolah saya bergegas menuju rumah dan betapa bahagianya saya ternyata si kucing menunggu saya di pintu rumah. Saya sayang sekali pada kucing ini.

Pada akhirnya kucing ini menerima kemalangan yang lain, kaki satunya yang tidak buntung terluka entah kenapa dan terjadi pembusukan. Waktu itu saya masih SD, tidak tau ada yang namanya dokter hewan, apalagi di Subang. Dan orang-orang rumah memang pada dasarnya tidak terlalu suka hewan peliharaan, akhirnya kucing ini dibuang oleh bapak entah kemana. Saya menangis waktu itu.

Itu adalah cerita awal saya tentang kesukaan saya pada kucing. Walaupun saya sangat menyukai kucing, saya tidak pernah pelihara lagi. Takut dibuang kalau-kalau ternyata sakit. 

Sampai akhirnya sekitar dua puluh tahun kemudian plus menyentuh waktu dua tahun pandemi corona. Saya kerja sendirian di kantor, tidak ada rekan kerja, tidak ada teman ngobrol, bahkan aplikasi pesan singkat pun isinya hanya kerjaan. Teman-teman saya sudah mulai distant di umur menyentuh 30. Saya mentekadkan diri untuk mengadopsi anak kucing. Saya namai kucing berwarna putih ini Kuro yang dalam bahasa jepang artinya hitam. 


Jujur, setelah ada Kuro saya sedikit bahagia. Ada kegiatan untuk membersihkan litter di pagi dan sore hari. memberi makan, cek up ke vet dan sebagainya. Kuro sangat manja dan suka sekali 'mengganggu' ketika saya sedang bekerja dengan tidur diatas laptop, mungkin karena hangat. 


Saya mencoba menjadi orang tua yang baik untuk Kuro, kalau dia sakit, saya bawa ke dokter, vaksinasi lengkap, dan kalau umurnya sudah cukup, mau disterilkan biar semakin sehat. Mungkin ini pelampiasan saya karena gagal memelihara si buntung waktu itu. Dimana saya tidak punya materi, kemampuan dan autorisasi yang cukup karena masih anak sekolah, SD lagi. Dan untuk saat ini saya punya apa yang dibutuhkan agar Kuro bisa hidup bahagia disini. 

P.S Ternyata obat cacing, obat kutu dan harga makanan kucing mahal juga ya hahaha

Share on:

Sejauh ingatan melihat kebelakang, waktu itu sepertinya saya baru berumur lima atau enam tahun. Dan entah itu umum atau anomali bagi anak-anak lain seumurannya, saya memiliki teman hayalan bernama Jalmi. Di bayangan saya, Jalmi yang dalam bahasa sunda berarti Manusia, tidaklah seperti manusia. Saya melihat Jalmi seperti stick figure yang digambar anak-anak yang tingginya tak lebih dari 20cm.


Dan sejauh ingatan saya juga (yang sekarang umur mau 30 tahun) saya berteman dengan Jalmi cukup lama. Saya mengobrol dengan Jalmi dengan suara layaknya dengan sesama teman, tidak di dalam hati juga tidak dalam berbisik-bisik. Waktu itu saya pikir lumrah memiliki "teman" seperti Jalmi. Saya mengobrol apapun dengan Jalmi, tentang mainan yang tidak bisa terbeli, tentang teman dekat rumah yang menyebalkan, tentang apapun yang waktu itu merupakan unek-unek anak kecil. Saya tidak tahu kalau semua obrolan saya dengan Jalmi ternyata tidak pernah diketahui oleh orang rumah seperti Mamah, Bapak dan Aa (kakak laki-laki dalam bahasa sunda). 


Dan pada akhirnya ketika saya mengobrol dengan Jalmi di ruang keluarga, Mamah, Bapak dan Aa semuanya sangat kaget. Aa sih cuma mengejek, tapi Mamah sepertinya lebih khawatir apakah anaknya mengobrol dengan hantu, atau lebih parah, ada gangguan jiwa. Reaksi mereka sangat membekas di ingatan saya. Saya sendiri kaget dan tidak menyangka reaksi keluarga saya ternyata begitu. Dan saya pada waktu terpaksa sadar bahwa ternyata memiliki teman seperti Jalmi itu tidak wajar. 



Pada akhirnya saya 'melupakan' Jalmi. saya tidak lagi memiliki teman hayalan. Bahkan sampai puluhan tahun berikutnya, saya benar-benar lupa akan keberadaan Jalmi. Sampai kemarin ini, semangat saya ngeblog  kembali membara. Tapi saya tidak ingin hanya menulis saja. Saya mau coba menjabarkan hidup saya dalam blog dengan ilustrasi sederhana semacam stick figure. Maunya sih gambar keren dengan detail yang membuat kagum tapi skill menggambar saya jauh dibawah rata-rata. Nah saat kepikiran ide ngeblog ilustrasi stick figure, entah kenapa saya teringat dengan Jalmi. Teman hayalan dulu waktu berumur lima tahun. Mungkin saya sudah melupakan Jalmi, tapi saya merasa dia bisa hidup lagi dalam ilustrasi-ilustrasi di blog ini. 

Begitulah kenapa saya menamakan blog ini Si Jalmi. Blog ini tidak akan diisi dengan fiksi atau apa tentang Si Jalmi, tapi saya akan mengisinya dengan opini, cerita dan pengalaman saya dengan ilustrasi sederhana sebagai tambahan saja agar isi blog ini tidak hanya berisi tulisan membosankan dengan ilustrasi copas dari pixabay dan sebagainya. Mencoba mengobrolkan unek-unek lagi dengan blog seperti puluhan tahun lalu saya mengobrolkan unek-unek saya kepada Jalmi.

Begitulah, Sampai jumpa di tulisan berikutnya. 
Share on:

Arsip Blog

  • ▼  2021 (3)
    • ▼  Mei (3)
      • Anxiety
      • Hadirnya Kuro dalam hidup saya
      • Menceritakan Si Jalmi
Label
  • Catatan
  • Jurnal
  • Meracau
Komentar Terbaru

Rumah Lainnya

  • Garis Horizon
  • Arief Chasan Personal Blog
  • Portfolio

Teman

  • Home
Copyright © Si Jalmi